Saturday, September 21, 2013

“Guardian Angel”

Aangin pagi yang masuk dari jendela di sudut ruangan, begitu dingin menusuk hinnga ke tulang kakiku. Padahal tubuhku ini sudah terbalut oleh selimut yang begitu tebal, bermotifkan garis-garis vertikal berwarna biru muda. Kepalaku masih saja berat, begitu juga kelopak mataku, sangat sulit untuk kubuka jika tidak karena terpaksa. Semuanya masih seperti biasa, suasana hanyut dalam keheningan. Begitu sunyi. Suasana yang begitu aman, nyaman, namun tetap saja membuatkuku dan siapa pun tidak senang berlama-lama berada di sini. Rasanya ingin aku pulang saja, jika memang bisa... dan, diperbolehkan. Pagi ini nampak ada yang berbeda. Bukan suasana kamar tempatku terbaring yang setiap harinya sesak dipenuhi bungan violet berwarna ungu kiriman Papah dan Mamah. Bukan pula motif gambar baju tidur yang kukenakan, berwarna ungu polos sesuai dengan warna kesukaanku, bukan itu yang berbeda. Tetapi nampaknya ada sesorang yang telah menungguku sejak tadi. Seseorang yang sangat aku sayangi, seseorang yang memang kehadirannya selama ini benar-benar selalu kuharapkan.
 “Selena... bagaimana keadaanmu, sayang?? Sejak kemarin Ibu ke sini terus, kamu masih koma, belum sadar. Ibu khawatir nak... jangan diulangi lagi ya sayang... kamu benar-benar membuat kita semua khawatir”, ucapnya lembut, mengecup keningku. Suara itu, sudah sangat kukenal, selama bertahun-tahun, seumur hidupku. Ia sudah seperti sebagai ibu pengganti untukku, di saat aku membutuhkan kasih sayang itu, Bu Ratmo lah yang selalu ada di sisiku. Bu Ratmo melanjutkan aktifitas yang dimana sudah beberapa hari ini tidak lagi kurasakan, menyuapiku dengan sarapan ala rumah sakit yang tidak pernah kusukai ini.
“Ibu ke sini dengan siapa?”, tanyaku.
“Bapak. Pak Ratmo”
Pak Ratmo adalah suami Bu Ratmo, dan aku memanggilnya dengan sebutan Bapak. Bapak adalah supir yang bekerja kurang lebih sudah sekitar 20 tahun di rumahku, semenjak jauh dari sebelum aku dilahirkan. Dan lalu beberapa tahun kemudian, istrinya Bu Ratmo lah yang akhirnya ikut bekerja di rumah, dan menjadi orang kepercayaan dimana Papah dan Mamah bisa memepercayakan seleuruhnya kepada mereka, termasuk segala apa pun yang berhubungan denganku. Pernah seorang temanku sempat menyangka bahwa Bapak dan Ibu adalah kedua orang tuaku, karena mereka lah yang selalu ada kapan dan ke mana pun aku pergi dan beraktifitas.Wajar saja, jika semua orang beranggapan seperti itu karena selama ini merekalah yang menjemputku untuk berangakat, menghantarkanku pulang dari sekolah, menemaniku dalam acara-acara sekolah, bahkan yang cukup menyedihkan... sampai pada permasalahan mengambil rapor sekolahku.
“Hmm. Bu.... Ivan..., dimana Bu ?”, tanyaku.
“Ivan? Ivan entahlah kemana dia Na.. sudah beberapa hari ini ia tidak pulang. Sudah sekitar dua minggu lebih...”, sahutnya cemas.
Jujur, aku merasa sangat kesepian, tanpa Ivan, tanpanya. Seumur hidupku, sejak usiaku masih mengunjak 1 tahun pun, di mana ada aku, maka di situ pula lah selalu ada Ivan. Ivan, dia adalah anak Ibu dan Bapak Ratmo. Ialah temanku sejak aku kecil, 17 tahun selalu bersama denganku, semenjak Bapak dan Ibu Ratmo bekerja, dan memilikki satu-satunya anak mereka, yang kebetulan 2 tahun lebih dahulu kelahirannya dari padaku itu, kami berdua pun tidak pernah terpisahkan. Namun sayangnya, akhir-akhir ini lah kami pun mulai terpisahkan. Lebih tepatnya, dipisahkan. Kami yang sejak dulu selalu bersama, kemana pun aku pergi dan berada, Papahku tidak suka melihatnya. Ia bilang, tidak ingin bahwa ada perasaan lain yang bersemi diantara kami berdua, melebihi dari sekedar persahabatan. Dan Mamahku juga bilang, bahwa ia sangat takut bahwasannya aku memiliki perasaan yang lain terhadap Ivan, sama takutnya ketika kekhawatirannya menuju pada Ivan yang spertinya juga sudah menganggapku lebih dari sekedar teman atau adik yang selama ini dijaga dan dilindunginya. Sungguh suatu ketakutan yang berlebihan, tidak pantas, dan terlalu diada-adakan. Bilang saja.. sebutlah, bahwa mereka memang tidak pernah ingin melihat aku sebagai anaknya bahagia. Ia merasa, aku tidak pantas terlalu berdekatan dengan anak Bapak dan Ibu Ratmo, yang dianggap tidak seatu level dengan kita semua. Kita siapa? Biar mereka orang tuaku  saja! Karena sesungguhnya aku tidak pernah sedikit pun merasa berbeda dengan Bapak dan Ibu yang kucinta, mereka semua. Entah apa maksudnya, yang jelas Papah memang hanya bisa merebut segalanya dariku, segala kebahagiaan yang aku milikki. Tidak pernah ia berfikir sedikit pun bahwa setelah merebut seluruh kebahagiaan itu, ia bahkan tidak akan pernah mau menggantinya atau bahkan mengembalikannya sedikit pun! Itulah orang yang selama ini menyedihkannya, secara status harus aku sebut sebagai “orang tua” kandungku.  
⃰•⃰⃰•⃰•⃰
Malam ini masih begitu dingin. Selain karena hujan deras membasahi seluruh gedung di luar ruangan rumah sakit ini, jendela kamar tempatku dirawat pun dipenuhi tetesan-tetesan embun yang seolah penuh tak memberikan ruang bernafas untuk udara. Syukurlah, alam malam ini bernuansa begitu sunyi dan syahdu, sungguh melelapkan setiap tubuh yang terlelahkan. Namun sayangnya, untuk orang spertiku yang sejak tadinya hanya dapat tidur dan terus terbaring di ruang rumah sakit yang mungkin dibayar mahal oleh Papahku ini, aku pun kini hanya bisa terus melanjutkan satu-satunya aktifitas yang selalu aku lakukan sejak pertama kali aku mulai masuk ke dalam rumah sakit ini. Ya, menghirup oksigen dari alat bantu pernafasan yang cukup membuatku sesak. Tidak enak, karena kesesakan ini kurasakan dengan tambahan kehampaan tanpa adanya dia selalu ada untukku, Ivan. Namun kini, entah ia di mana, berada di manakah seseorang yang selama ini selalu melindungiku, di mana pun aku berada? Berada dimanakah ia, seorang yang selama ini selalu mewarnai setiap detik-detik perubahan yang terjadi dalam seumur hidupku? Di manakah dirimu, Ivan? Tidakkah kamu tahu, bahwa aku di sini, terbaring lemah memikirkanmu setiap saat, berharap kau datang, berharap kau, menemuiku melupakan semua tragedi pengusiran Papah terhadapmu yang saat itu sedang datang ke rumah sakit ini berniat untuk menjengukku sekitar satu bulan yang lalu? Berharap aksi bunuh diriku yang kulakukan akibat kejenuhan yang kurasakan karena semua penyakit parah ini, menggerogotiku secara terus-menerus dan perlahan akan mulai membunuhku, kulakukan semua aksi ini  beberapa minggu yang lalu, adalah agar menjadi satu-satunya alasan untuk kau bisa datang melihat kedaanku, setelah selama kurang lebih kita  terpisahkan meski pun itu baru sekitar 1 bulan saja? Namu bagiku iti tidak sebentar, bagiku itu sungguh lama tanpamu. Kemana kau Ivan? Kemana kau sahabatku? Sahabat sejatiku. Manakah janjimu, yang akan terus menjagaku sepanjang hidupku? Manakah janjimu yang akan terus menjadi pelindung diseumur hiduku? Kemanakah janjimu, yang selalu meyakinkanku bahwa kau akan selalu ada dimana pun aku berada, tidak peduli sejauh apa pun jarak dan keadaan yang memisahkan kita?? Dimana kau sahabatku?? Apakah kau lupa janjimu?? Besok pagi adalah hari jadwal operasiku, syukurnya dokter telah menemukan donor yang tepat untukku. Entah siapa orang yang begitu baiknya, rela memberikan satu-satunya kesempatan yang hanya Tuhan berikan satu untuk setiap manusia, tak ada cadangan, tak ada duanya. Entah siapa orang yang sungguh sangat baik itu, namun pihak rumah sakit pun pasti memegang janji dan komitmennya untuk merahasiakan setiap arsip pihak pendonornya, kecuali jika memang ada pesan khusus dari pihak pendonor untuk pemberitahuannya. Dan itulah yang kuharap, engkau hadir untuk menyaksikan saat-saat penentuan berhasil atau tidaknya proses operasiku ini. Kuharap, ingin sekali kau yang ada di sampingku, ikut mendoakan keberhasilan proses pembedahan jantungku. Kau memberiku semangat, membantuku mencari siapa sesungguhnya relawan yang begitu dermawannya merelakan jantungnya ini untukku, kita bisa mencarinya sama sama, mencari tahu, setelah keberhasilan operasiku itu besok. Dan, harapanku yang terakhir Ivan, di mana pun kau berada... di luar sana. Aku berharap kau baik-baik saja, dan.. sempatkanlah dirimu, sejenak saja..... untuk datang.  
⃰•⃰⃰•⃰•⃰
Pagi hari ini aku terbangun, ternyata sudah 14 jam aku koma semenjak operasi jantung baruku. Syukurlah... Tuhan begitu baik... sangat baik. Ia masih memberikanku kesempatan hidup untuk yang kedua kalinya, bahkan setelah aku melakukan aksi bunuh diri yang semakin memperparah kesehatan jantung ‘lama’ku. Kini aku hidup dengan jantung baru, harapan baru. Begitu senangnya, karena lagi-lagi Tuhan menunjukan betapa besar kasih sayang-Nya untukku, kasih sayang dengan membiarkanku berbahagia memiliki jantung dari orang yang pastinya begitu baik hati mendonorkan suatu anggota terpenting, termahal –tidak dapat ditukarkan dengan segala sesuatu apa pun-, dan yang paling penting adalah  suatu anggota bagian tubuh yang begitu dan paling sulit dicari pendonornya itu. Ya Tuhan, siapa pun ia, izinkanlah aku untuk mengetahuinya, setidaknya untuk menununjukan rasa terimakasihku yang tak terduga ini, jikalau memang masih ada sekeluarga atau sanak saudara yang ditinggalkannya. Entah keluarganya mengetahui atau tidak, namun siapa pun mereka yang menjadi keluarga dari pendonor jantungku ini, mereka harus tahu bahwa selama ini telah memiliki salah satu anggota saudara yang sungguh, begitu mulianya ini..
Hari ini aku  benar-benar sungguh bahagia, sesadarnya aku dari 14 jam koma paska keberhasilan operasi jantungku ini, hadirlah di sini Papah dan Mamah, serta semua orang yang menanyakan kondisiku, kami becengkarama, tertawa, dan sungguh bahagia. Namun seperti yang telah kuduga, dan yang paling aku takutkan, kini telah terjadi... di mana kebahagiaan ini, kurasakan tanpa sepenuhnya kelengkapan dari semua orang yang kusayangi yang telah berkumpul. Kebahagiaan ini sungguh tidak lengkap, pastilah karena satu orang. Satu orang yang teramat sangat kusayangi, kurindukan, kuharapkan kehadirannya... namun sampai pada detik ini, ia masih belum sudi untuk datang dan bertemu denganku juga.. Dear sahabatku, Ivan... dimanakah kamu????
Ibuku, Bu Ratmo, tak lama kemudian datang ke sisiku memeluk dan membawakanku satu rangkaian bingkisan bunga violet berwarna ungu, kesukaanku. Dari pihak rumah sakit katanya? Dan aku pun langsung membuka amplop surat berwarna putih resmi itu, di dalamnya berisikan surat, dan entah mengapa, jantungku berdegup kencang membukanya.
untuk Gadisku tercinta, Selena...
Maaf karena aku terlambat mengucapkannya. Selamat atas keberhasilan opersi jantungmu saat ini. Kamu sukai bunganya? Huhh.. Padahal aku sudah sesusah payah mungkin memilihnya, kupilihkan yang terindah, namun sayang... maaf sekali karena hingga sampai pada detik ini, aku belum pernah bisa sedikit pun berhasil menemukan bunga yang setidaknya sama indahnya sepert dirimu... kubawakan ini, karena kurasa bunga inilah yang paling pantas untumu, atau setidaknya yang paling engkau sukai. Benarkah ?
Dirimu itu indah, Selena, dan berjanjilah padaku, bahwa kau akan selalu menjaga keindahan itu sampai akhir hayatmu. Akhir hayat yang Tuham tentukan, bukan yang kau tentukan. Karena pada saat kau membaca suratku ini, mungkin ini adalah suratku terakhir yang bisa, dan sanggup aku berikan... karena kini aku sudah tidak ada, terlanjur pergi jauh dari sisimu. Namun jangan khawatir 
sayang, masih selalu dan sama seperti dahulu. Aku akan tetap selalu berada di sisimu. Aku akn selalu tepati janjiku untuk menemanimu, sampai kapan pun, menjagamu, mengawasimu di setiap aktifitas detak jantungmu. Percayakah kau, bahwa selama ini aku selalu mengawasimu? Meskipun kini, ragaku telah tiada. Namun aku berjanji akan selalu menepati janjiku... mewarnai setiap harimu dengan adaku yang mungkin kini semakin dekat denganmu. Ikut mmbantumu untuk terus bernafas, untuk semakin menyadari bahwa hidup ini terlalu sayang dan indah jika kau akhiri.
Aku di sana selalu bersamamu, bahkan seorang Papah dan Mamahmu pun kini, takkan pernah bisa memisahkan kita. Aku bahagia jika melihat kau bahagia, Selena. Aku sehat jika melihatmu sehat. Aku di sana selalu bersamamu, ikut berada di mana pun kau berada... jagalah jantungku Selena... jantungku yang kini telah menjadi jantung kita, milik kita... berajnjilah?? Jaglah jantung ini, bersama dengan kau menjaga rahasia ini. Biarkanlah orang tuaku mengetahui kenyataan ini sendiri, mereka pun pasti bisa merelakan kepergianku jika ini semua untuk selalu menjaga kau yang juga sudah sangat dianggap seperti anak kandung mereka sendiri. Berjanjilah, sayang.... berjanjilah.. aku yang selama ini mencintaimu, menyadari akan habitat dimama selama ini seharusnya aku berada, bukan di dekatmu. Memang kita bukanlah berasal dari keluarga yang sama, namu kini... dengan cara seperti inilah, aku bisa dapat terus menjagamu, mencintaimu, bersamamu sampai akhir hayatmu. Taidak ada Mamah, Papahmu, jarak, waktu, atau bahkan ‘derajat’, yang kini memisahkan kita... sekali lagi aku meminta maaf.. maaf karena takkan pernah bisalah aku, untuk berhenti mencintaimu, selamanya... I will be true to you, always be your guardian angel honey.. Love you, always. Forever. Salam sayang, hangat, peluk, cium, dan rinduku selamanya untukmu....
 kakak, sahabat, kekasihmu’ tercinta


 Kafka Ivan Putra Ratmono.”

ASTAGAA!!!!!!!!!!”, Membaca itu, nafasku begitu sesak.. jantungku begitu sakit, dan kali ini tak terkira. Seluruh rangkaian bunga itu jatuh dan tumpah dari tanganku. Semua orang memanggil-manggil namaku dan kini aku sudah tidak memilikki kekuatan sedikit pun untuk menjawabnya. Mereka semua mulai mengerubungiku namun aku tak dapat menyadari apa pun. Mataku kembali gelap, benar-benar gelap.... dan yang teringat.. hanyalah bayangan sosok sesorang pengirim surat itu, oh...., ‘Guardian Angelku’ .........


≈Sekian≈

No comments:

Post a Comment