Friday, September 13, 2013

Konseling Bagi Kaum Muda

Pentingnya Konseling dalam Pelayanan Kaum Muda
Posted 01 Juli 2009 by Safril
Siapakah kaum muda? Apakah mereka begitu penting? Apa yang mereka hadapi? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin merupakan pertanyaan sederhana dari kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang spesial dalam hal ini mungkin, karena tidak semua orang tertarik untuk memperhatikan mereka secara khusus. Secara umum, kaum muda adalah orang-orang yang baru keluar dari masa remaja kepada masa dewasa, dengan umur sekitar 17-30 an, kira-kira merupakan anak-anak yang baru saja lulus SMU. Lalu, apa yang menarik dari mereka? Toh semua orang pun pernah mengalami masa-masa tersebut. Memang pergumulan pemuda secara umum saat ini masih sama seperti generasi sebelumnya, yaitu:
1. Identitas: Siapa aku, dan apa tempatku dalam masyarakat?
2. Pasangan hidup: Apakah aku akan mendapatkan seseorang yang mengasihi aku?
3. Decisive Years: Tahun-tahun penentuan arah hidup pemuda menuju stagnasi atau generous
Namun ada beberapa hal yang telah berubah dari masa sebelumnya, yaitu kehadiran budaya kota dan teknologi modern yang ternyata mudah sekali diserap oleh kaum muda masa kini.
Ciri-ciri budaya kota:
1. Tergesa-gesa dan serba instant
2. Individualis
3. Mobilitas tinggi
Budaya kota ini telah mengakibatkan serangkaian pengaruh buruk bagi pemuda, yaitu:
- Para pemuda harus mengambil berbagai keputusan secara bertubi-tubi, setiap hari, setiap waktu dalam hidup mereka dihadapkan oleh pilihan
- Kurang dekat dengan orang lain, relasi telah menjadi persamaan tujuan dan kepentingan
- Tidak terdorong dan tidak cukup waktu merenungkan makna hidup dan keberadaannya
- Mau menghasilkan segala sesuatu dengan instant, dan kurang mau berjuang untuk menguasai sesuatu yang bernilai tinggi, lebih menyukai mengerjakan yang mudah untuk mencapai hasil yang praktis.
Kemudian juga dengan munculnya era informasi menggantikan era teknologi yang menginvasi para pemuda dengan Televisi, Internet, MTV, dan lain sebagainya ternyata telah mengakibatkan perubahan yang sangat besar bagi kaum muda dewasa ini. Belum pernah dalam sejarah dunia ini, kaum muda diperhadapkan dengan 1001 kesempatan untuk dapat memilih satu dari 1001 identitas yang diinginkannya. Begitu banyak pilihan. Untuk pertama kalinya juga kaum muda dapat memilih dan menikahi pasangan hidup mereka sendiri tanpa pernah bertemu secara muka dengan muka, alias hanya bertemu secara maya saja di internet. Dan belum pernah pula dalam sejarah kaum muda memiliki tingkat kesulitan yang demikian sulit untuk bisa bertahan hidup dalam persaingan merebut tempat dalam komunitas. Kaum muda saat ini bukan saja dihadapkan dengan keputusan yang bertubi-tubi, namun juga teramat kompleks dan membingungkan karena saat mereka membutuhkan jawaban, yang diperoleh adalah teguran, amarah atau kesepian karena budaya kota yang individualis juga menyerang keluarga. Akhirnya mereka berpaling pada teman-teman mereka, pada pola pergaulan yang negatif, dan saat orang tua mereka sadar, seringkali sudah terlambat. Karena anak-anak mereka telah menjadi korban budaya jaman ini.
Maka akhirnya munculah suatu prinsip penting dalam pelayanan kaum muda yaitu:
No Relationship = No Ministry
(Tanpa hubungan, tidak mungkin ada pelayanan kaum muda)
Kemudian munculah pertanyaan selanjutnya, “OK, hubungan itu penting, namun apakah harus dengan konseling? Bukankah banyak anak muda yang berhasil dalam hidupnya tanpa konseling? Dapatkah kaum muda ditolong dengan menggunakan Injil saja, atau dengan Firman Allah saja? Bukankah Kristus telah menyelamatkan kita, menebus kita secara penuh, dan menjadikan hidup kita sama sekali baru?” Tentu saja penebusan Kristus tidak lagi perlu ditambahkan apapun agar kita menerima karunia keselamatan. Dan tentu saja Firman Allah yang hidup adalah cukup untuk menjawab segala permasalahan hidup manusia. Pertanyaan yang sesungguhnya adalah How? Bagaimana Firman Tuhan dapat menjadi pengubah hidup kaum muda?
Dalam bukunya, “Siapa Anda Sesungguhnya”, Dr. Neil T. Anderson mengatakan bahwa pemuridan atau Pemahaman Alkitab (PA) akan gagal tanpa memahami terlebih dahulu keadaan orang yang dimuridkan dan tanpa menerima terlebih dahulu apa adanya dirinya. Beliau juga mengatakan bahwa pertumbuhan rohani tidaklah hanya sekedar membimbing mereka dalam kelompok PA. Mereka juga memerlukan konseling. Demikian juga menurut David E. Carlson. yang mengatakan bahwa ada saatnya di mana upaya Penginjilan dan pengajaran Firman menjadi terbatas dan tidak efektif. Kaum muda tidak tertarik dan tidak ingin diajar. Dalam situasi seperti inilah pelayanan konseling menjadi sangat berguna untuk menolong mereka.
Prinsip utama Konseling Kristen mendefinisikan bahwa semua permasalah hidup manusia timbul karena dosa dan karena itu, satu-satunya penyelesaian masalah yang efektif dan permanen adalah dengan kelahiran kembali dan setelah itu hidup berjalan bersama Allah setiap waktu. Artinya Konseling Kristen mengandalkan Firman Allah untuk menjawab permasalahan hidup manusia, dengan ilmu psikologi sebagai “tambahan” yang dimanfaatkan untuk melengkapi pengetahuan konselor-konselor Kristen dalam mendalami masalah di balik tingkah laku manusia yang kompleks ini. Di sinilah Firman Tuhan memang digunakan dengan cara konseling untuk menolong kaum muda.
Melihat hal ini, sudah selayaknyalah gereja menempatkan konseling sebagai salah satu pelayanan yang tidak bisa tidak ada dalam pelayanan kaum muda. Namun saat ini, fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa konseling di gereja rata-rata berada di pundak para hamba Tuhan penuh waktu. Selain tugas mereka yang cukup disibukkan dengan berbagai aktivitas gereja, berkhotbah, mengatur organisasi gereja, mereka juga harus menyediakan waktu mereka untuk menerima konseling jemaat, yang bukan hanya terdiri dari anak muda saja, melainkan juga sampai ke kaum usia senja.
Di samping kesibukan para hamba Tuhan, masalah lain yang terjadi pada kaum muda adalah keengganan mereka untuk berbicara dengan hamba Tuhan. Hamba Tuhan sering digambarkan sebagai orang suci yang memegang “tongkat kerajaan Allah” yang akan menghajar mereka apabila mereka melakukan kesalahan. Atau sebagai orang luar biasa yang jauh sekali di atas mereka, tidak tersentuh dan tak terhampiri. Akhirnya mereka tetap mencari jawaban dalam kebingungan sesama kaum muda lainnya atau mencari pada sumber-sumber yang tidak dapat dipercayai kebenarannya, misalnya akhirnya jatuh pada ajaran yang menyimpang.
Namun keadaan ini tidak perlu terus berlaku seperti ini. Kaum awam dapat diperlengkapi untuk bisa melakukan tugas konseling dan masuk ke pelayanan kaum muda tanpa harus dicap suci/agung/jauh dan lain-lain. Asalkan kaum awam diperlengkapi secara benar dalam teologi maupun psikologi dan konseling Kristen, mereka dapat menjadi kekuatan yang dashyat yang membantu para hamba Tuhan menolong kaum muda.
Akhirnya, setelah kita mengamati kondisi kaum muda dewasa ini, melihat mengapa konseling merupakan hal yang penting dalam pelayanan kaum muda, dan mengamati kebutuhan akan konselor awam yang diperlengkapi dengan baik, muncullah pertanyaan yang paling akhir sebagai konklusi dari permasalahan di atas, yaitu: Bagaimana memperlengkapi kaum awam dengan benar secara teologi, psikologi dan konseling Kristen, agar mampu melayani khususnya kepada kaum muda sehingga masa depan gereja yang berada di tangan para pemuda dapat menjadi suatu masa depan yang penuh pengharapan akan kondisi gereja dan masyarakat yang membaik dari masa sekarang ini? Dan sesudah diperlengkapi, bagaimana kaum awam tersebut dapat dipergunakan oleh gereja untuk benar-benar terjun dalam pelayanan kaum muda, masuk dan menolong kaum muda? Jawaban dari pertanyaan pertama tentu terletak pada institusi pendidikan konseling dan para hamba Tuhan yang menguasai ilmu konseling Kristen. Sedangkan jawaban terhadap pertanyaan kedua terletak di tangan para pemimpin gereja yang mampu membuat pelayanan konseling oleh orang awam di gereja menjadi sesuatu yang dimungkinkan.

Konsep Diri

Konsep Diri
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar istilah konsep diri. Konon ada lebih dari 15 istilah yang bisa ditemukan dalam literatur untuk konsep tentang diri. Ada yang menyebut konsep diri, ada yang menyebut harga diri (self-esteem), ada yang menyebut nilai diri (self-worth), dan ada pula yang menyebut penerimaan diri (self- acceptance). Akan tetapi, ada pula yang membedakan istilah harga diri dengan konsep diri, dengan memandang konsep diri merupakan bagian dari harga diri dan harga diri merupakan konsep diri yang bersifat umum. Untuk kepentingan kegiatan belajar kita, kita gunakan saja istilah konsep diri.
Dengan konsep diri ini, kita bisa membayangkan bagaimana kita becermin untuk mengetahui siapa sesungguhnya diri kita. Menurut Rakhmat (1985:124) menjelaskan proses becermin diri itu melalui tahapan-tahapan berikut ini.
· Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain.
· Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita.
· Ketiga, kita mengalami rasa bangga atau kecewa pada diri kita sendiri.
Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita merumuskan dulu, apa yang dimaksud dengan konsep diri. Debes merumuskan konsep diri dengan mengutip Devito, “merupakan gambaran siapa diri kita sebenarnya.” Menurut Debes, konsep diri bisa juga dinyatakan sebagai keseluruhan gambaran tentang diri kita. Maksud keseluruhan gambaran di sini mencakup diri psikologis, diri fisik, diri spiritual, diri sosial, dan diri intelektual. Dengan demikian, konsep diri merupakan persepsi kita pada bagian-bagian tadi untuk dipadukan dan membentuk keseluruhan gambaran. Penting diingat, konsep diri ini bukan pandangan orang lain pada kita melainkan pandangan kita sendiri atas diri kita.
Sedangkan William D. Brooks (dalam Rakhmat, 1985:125) menyebut konsep diri sebagai “persepsi-persepsi fisik, sosial, dan psikologis atas diri kita sendiri yang bersumber dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain”. Berdasarkan definisi dari Brooks tersebut, kita bisa menguraikannya sebagai berikut.
1. Persepsi fisik, yang berkaitan dengan bagaimana kita mempersepsi diri kita secara fisik. Apakah kita ini termasuk orang yang tampan/cantik, biasa-biasa saja atau jelek? Apakah badan kita terlihat gagah atau tidak menarik?
2. Persepsi sosial, yang berkaitan dengan bagaimana pandangan orang lain tentang diri kita. Apakah kita ini termasuk orang yang mudah bergaul, cenderung menyendiri, disukai orang lain atau orang yang ingin menang sendiri.
3. Persepsi psikologis, yang berkaitan dengan apa yang ada pada “dalam” diri kita. Apakah saya ini orang yang keras pendirian atau keras kepala? Apakah saya termasuk orang yang berbahagia karena apa saya bahagia?
4. Pengalaman, yang terkait dengan sejarah hidup kita. Sejak mulai kita dilahirkan hingga usia saat ini tentu mengalami berbagai hal yang berpengaruh pada diri kita. Misalnya, kita menjadi keras kepala karena sering diperlakukan sebagai anak yang berada pada pihak yang kalah.
5. Interaksi dengan orang lain, yang terkait bagaimana lingkungan pergaulan kita akhirnya membentuk persepsi kita atas diri sendiri. Apa yang dialami Sumadi di atas menunjukkan bagaimana interaksi dengan orang lain akhirnya membentuk persepsi psikologis bahwa dirinya termasuk orang yang tidak bisa bekerja.
Berdasarkan uraian di atas, kita bisa melihat bahwa konsep diri itu ternyata bukan sekadar persepsi kita atas diri sendiri. Karena di dalamnya ada juga unsur penilaian. Misalnya, saya cantik/tampan atau saya bodoh/pandai merupakan penilaian. Kita menilai diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Pasangan persepsi dan penilaian terhadap diri sendiri ini penting untuk diperhatikan. Oleh karena kedua hal itulah yang akan mempengaruhi bagaimana kita mengalami kehidupan ini dan berinteraksi dengan orang lain. Lebih dari itu, penilaian akan terkait dengan standar penilaian yang dipergunakan. Barangkali kita membuat standar cantik/tampan itu berdasarkan apa yang kita lihat dalam sinetron di televisi sehingga kita kemudian mempersepsi diri kita tak cantik/tampan karena tak seperti mereka yang tampil dalam sinetron itu atau kita kemudian berusaha meniru dandanan dan potongan rambut, seperti artis sinetron itu agar kita bisa disebut sebagai cantik/tampan.
Dalam konsep diri tergabung beberapa dimensi tentang diri. Mengingat di dalamnya ada 4 (empat) dimensi dasar konsep diri. Keempat dimensi konsep diri tersebut, menurut Allen (2000) terdiri atas
1) konsep diri aktual,
(2) konsep diri ideal,
(3) konsep diri pribadi (private), dan
(4) konsep diri sosial.
Selanjutnya, kita bahas keempat dimensi konsep diri tersebut. Kita awali dengan konsep diri aktual. Konsep diri ini dapat dinyatakan sebagai persepsi yang realistis terhadap diri kita sendiri. Ada juga yang menyatakan, konsep diri aktual itu adalah persepsi atas siapa diri kita saat ini. Konsep diri aktual juga merupakan persepsi nyata kita pada diri kita sendiri dan persepsi yang saya gambarkan pada orang lain, seperti status sosial, usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Ketika kita menyatakan, misalnya “saya mahasiswa UT semester 3” maka kita sedang mengungkapkan konsep diri aktual kita.
Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang atas dirinya harus seperti apa tampaknya. Ketika kita memutuskan untuk meneruskan pendidikan di Universitas Terbuka ini merupakan keputusan yang berupaya untuk menunjukkan konsep diri yang ideal. Dengan konsep diri ideal itulah kita berusaha dan berjuang untuk terus memperbaiki kemampuan dan kehidupan kita. Usaha memperbaiki dan meningkatkan itu bisa dilakukan dalam bidang pekerjaan, keterampilan atau pendidikan. Tindakan-tindakan yang kita lakukan itu bisa dipandang sebagai upaya untuk mendekatkan pada kondisi yang mendekati konsep diri yang ideal tadi.
Allen (2000) menulis bahwa individu biasa membandingkan konsep diri ideal itu dengan nilai konsep diri aktualnya. Oleh karena manusia pada dasarnya ingin agar konsep diri aktualnya memiliki karakteristik yang sama atau mendekati konsep diri idealnya. Apabila kedua konsep diri ini berjauhan maka individu akan berupaya untuk mencapai konsep diri yang ideal. Misalnya, mengikuti pendidikan lanjutan di Universitas Terbuka karena kita mengidealkan konsep diri yang baik itu antara lain diwujudkan dalam bentuk bisa menyelesaikan pendidikan S-1 atau memiliki gelar sarjana.
Konsep diri pribadi (private) merupakan gambaran bagaimana kita menjadi diri kita sendiri. Kita berusaha untuk menunjukkan bahwa kita bertindak sebagai orang yang ramah, bersahabat, kreatif atau menyukai tantangan. Misalnya, dalam konsep diri pribadi kita digambarkan diri kita menggemari tantangan sehingga mengikuti pendidikan ilmu komunikasi di UT. Kita merasa tertantang untuk menggeluti disiplin ini karena banyak diperlukan di dunia kerja atau mendekatkan kita pada dunia yang kita dambakan yakni berkecimpung dalam karier sebagai profesional komunikasi.
Konsep diri sosial pada dasarnya berkaitan dengan relasi kita pada sesama. Kita ingin agar orang lain memandang kita sebagai orang yang cerdas, menarik, baik hati, peduli pada nasib orang atau memiliki kemampuan menjalankan tugas-tugas pelik. Keinginan kita untuk menjadi seperti itu merupakan wujud konsep diri sosial. Dalam konsep diri sosial ini tercermin bagaimana kita ingin dipandang oleh orang lain sebagai bagian dari satu kelompok masyarakat.
Dengan demikian, konsep diri merupakan satu proses. Ini merupakan bagian dari diri kita dalam proses menjadi (becoming). Prosesnya dimulai dengan mengumpulkan informasi. Dalam Kisah Sumadi di atas, informasi itu terkumpul dari komentar, kritik, dan saran rekan-rekan kerjanya. Informasi yang terkumpul tersebut pada dasarnya merupakan pengalaman yang kita lalui dalam kehidupan. Selanjutnya, kita memberi makna, maksud atau sifat tertentu pada pengalaman tersebut. Inilah yang kemudian membentuk kesan dalam diri kita. Berdasarkan kesan itulah kita pun mempelajari siapa diri kita, siapa orang lain, dan bagaimana dunia ini. Siapa diri kita itulah yang kemudian menjadi konsep diri kita.
Ada dua kelompok yang dianggap mempengaruhi konsep diri kita.
· Pertama, orang lain yang kita anggap penting atau biasa dinamakan the significant others. Sepanjang hidup kita, selalu saja ada orang yang kita anggap penting dan berpengaruh pada diri kita. Pertama-tama, jelas, orang tua kita. Semua manusia akan memandang penting orang tua sehingga orang tua bisa dikatakan sebagai pemberi pengaruh yang pertama dan utama bagi pembentukan konsep diri kita. Ketika mulai memasuki usia TK, kita mengenal significant others lain, biasanya guru. Begitu seterusnya, sepanjang hidup kita bertemu dengan orang-orang yang kita anggap berpengaruh besar pada diri kita.
· Kedua, kelompok acuan (reference group) yang memberi arahan dan pedoman agar kita mengikuti perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam kelompok tersebut. Ini terkait dengan salah satu sifat manusia yang selalu hidup dalam kelompok. Tidak ada manusia yang hidup menyendiri, kecuali karena terpaksa. Semua manusia membutuhkan orang lain. Kelompok-kelompok tersebut kita ikuti secara sukarela. Kelompok acuan itu mempengaruhi pembentukan konsep diri kita. Misalnya, kelompok pecinta alam yang kita ikuti, kelompok penggemar motor tua, dan kelompok yang memiliki hobi yang sama. Semua itu akan memberi pengaruh pada pembentukan konsep diri.

No comments:

Post a Comment