Friday, September 13, 2013

Tipe-tipe konseling

Menurut Pietrofesa dkk (1978) yang dikutip oleh Mappiare (2004) tipe konseling dapat dibedakan:
1. Konseling krisis
Berdasarkan sifat situasi krisis, konselor menerima situasi dan menciptakan keseimbangan pribadi dan penguasaan diri, konselor menunjukkan sikap dasar yang meyakinkan seperti dapat meredakan kecemasan, dan menunjukkan tanggung jawabnya kepada klien melalui dukungan dan ekspresi pengharapan terhadap klien. Selain itu konselor juga memberikan intervensi langsung, dukungan, dan konseling individual ke klinik atau lembaga yang layak.
2. Konseling fasilitatif
Proses membantu klien menjadikan jelas permasalahannya, bantuan dalam pemahaman, dan penerimaan diri, penemuan rencana tindakan dalam mengatasi masalah dan melaksanakan semua itu dengan tanggung jawab sendiri.
3. Konseling preventif
Konselor dapat menyajikan informasi kepada suatu kelompok atau membantu individu mengarahkan program-program pencegahan suatu penyakit. Aktifitas yang dilakukan konselor adalah pemberian informasi, konseling individu berdasarkan isi dan proses program pencegahan.
4. Konseling developmental
Tipe konseling ini terfokus pada membantu para klien mencapai pertumbuhan pribadi yang positif dalam berbagai tahap kehidupan mereka.
Hasil konseling dapat dikategorikan dalam tiga hal sebagai berikut:
1. Resolusi
Mencakup pencapain pemahaman atau perspektif terhadap masalah tersebut, mencapai penerimaan pribadi terhadap permasalahan atau dilema tersebut dan mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang merupakan sumber permasalahan tersebut.
2. Belajar
Mengikuti konseling memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pemahaman, keterampilan, dan strategi baru yang membuat diri mereka dapat menangani masalah serupa dengan lebih baik di masa yang akan datang
3. Inklusi sosial
Konseling menstimulasi energi dan kapasitas personal sebagai seseorang yang dapat memberikan kontribusi terhadap makhluk lain dan kepentingan sosial.
Hal-hal penting yang perlu dicakup dalam konseling adalah:
a. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai dalam masyarakat.
b. Membantu seseorang agar mampu mandiri dalam mengantisipasi kebutuhannya untuk menuju kehidupan sehat.
c. Mendorong peningkatan penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang optimal.

Prinsip Pembelajaran Memakai Sistem Belajar


2 Interested Motivator, Pembimbing Ceramah + diskusi terpimpin
3 Involved Fasilitator Proyek kelompok, diskusi yang difasilitasi oleh tutor, seminar.
4 Self-Directed Konsultan, delegator Kerja individu, kelompok belajar.
Sumber: Grow (1991)
Berdasarkan model tahapan belajar mandiri Grow diatas, pebelajar yang mempunyai karakteristik tahap 1 dan 2 akan sangat sulit mengikuti pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Robert Kizlik (2001) mengembangkan skala kecakapan dan kesiapan belajar jarak jauh (Distance Education Aptitude and Readiness Scale (DEARS)) sebagai salah satu panduan bagi para calon mahasiswa pendidikan jarak jauh. Skala tersebut terdiri atas 15 butir pernyataan dengan skala dari 1 sampai dengan 5. Mereka yang mempunyai skor 44 kebawah, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk mengikuti pendidikan dengan sistem belajar mandiri (dalam konteks ini, pendidikan jarak jauh).
Pebelajar dengan karakteristik tahap 3 (involved learners), telah mempunyai keterampilan dan pengetahuan serta memandang dirinya sebagai partisipan dalam belajarnya sendiri. Dalam hal ini, tutor/instruktur berperan sebagai fasilitator yang berkonsentrasi pada upaya memfasilitasi, mengkomunikasikan dan mendukung pebelajar tersebut dalam menggunakan keterampilan yang telah mereka miliki.
Pebelajar dengan karakteristik tahap 4 (self-directed learners) sudah mampu menyusun tujuan dan standar belajarnya sendiri, baik dengan atau tanpa bantuan ahli. Ia telah mampu memanfaatkan ahli, lembaga dan sumber-sumber lain untuk mencapai tujuan belajarnya. Pebelajar mandiri bukan berarti penyendiri, tapi ia telah mampu berkolaborasi dengan orang lain baik dalam klub atau kelompok belajar informal. Dalam hal ini, tutor/instruktur berperan sebagai konsultan untuk terus memberikan delegasi atau memberdayakan kemampuan belajarnya.
Dengan demikian, dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, kecakapan dan kesiapan dalam belajar secara mandiri merupakan sarat utama. Berdasarkan tahapan belajar mandiri model Grow, pebelajar yang masih memungkinkan untuk dapat mengikuti sistem belajar mandiri adalah pebelajar pada tahap 3 (involved learners) dan 4 (self-directed learners). Karakteristik pebelajar ini hendaknya menjadi pertimbangan penting bagi penyelenggara pendidikan, terutama tutor.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang diajukan oleh beberapa penulis seperti Ash, 1985; Bauer, 1985; Brocket dan Hiemstra, 1985; Brookfield, 1985; Cross, 1978; Hiemstra, 1982, 1985; dan Reisser, 1973 tentang cara terbaik tutor/instruktur dalam memfasilitasi pembelajaran mandiri: 1) bantu pebelajar mengidentifikasi cara-cara mengawali suatu proyek belajar berikut cara memeriksa dan melaporkanya; 2) ciptakan kemitraan dengan pebelajar dengan cara menegosiasikan kontrak belajar yang meliputi tujuan, strategi dan kriteria evaluasi; 3) jadilah manager pengalaman belajar dan hindarkan menjadi pemberi informasi (information provider); 4) bantu pebelajar memiliki teknik assessment yang diperlukannya untuk menemukan tujuan khusus apa yang harus ia buat; 5) Pastikan bahwa pebelajar menyadari tujuan belajar, strategi belajar, sumber-sumber belajar yang diperlukan, dan criteria evaluasi yang telah ditentukannya sendiri sebelumnya; 6) ajarkan keterampilan “inquiry”, pengambilan keputusan, pengembangan diri, cara mengevaluasi kerjanya sendiri; 7) bantu mencocokan sumber belajar dengan kebutuhan pebelajar; bantu pebelajar membangun sikap dan perasaan mandiri yang realif positif bagi belajarnya; 9) gunakan teknik-teknik yang dapat memperkaya pengalaman, seperti “problem solving” atau pengalaman lapangan; 10) kembangkan panduan belajar yang bermutu tinggi; 11) dorong kemampuan berpikir kritisdengan cara mengintegrasikan aktifitas tertentu seperti seminar; 12) ciptakan iklim keterbukaan dan kepercayaan untuk meningkatkan kinerja; 13) bantu pebelajar dari segala bentuk manipulasi dengan cara menjunjung tinggi kode etik; dan 14) berprilakulah secara etis, termasuk tidak merekomendasikan pendekatan belajar mandiri jika tidak cocok dengan kebutuhan pebelajar.
Sedangkan bagi lembaga dan karyawan lain yang terlibat dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, Hiemstra (1982, 1985) dan Brocket dan Hiemstra (1985) merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1) lakukan pertemuan reguler dengan ahli yang dapat memberikan saran-saran criteria kurikulum dan evaluasi; 2) lakukan penelitian tentang kecenderungan (trend) dan minat pebelajar; 3) kembangkan alat-alat yang diperlukan untuk mengukur kinerja pebelajar saat ini dan untuk mengevaluasi kinerja yang diharapkan; 4) ingatkan dan berikan “reward” ketika mereka telah mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya oleh mereka; 5) kembangkan jaringan belajar, lingkaran belajar dan pertukaran belajar (learning exchange); dan 6) lakukan pelatihan staff tentang sistem belajar mandiri dan perluas peluang implementasinya.


No comments:

Post a Comment