Saturday, September 21, 2013

puisiku ini untukmu- yang tak pernah lekang di dadaku.

Day,
ada yang tak pernah lekang dalam ingatan, sesuatu yang kau buat ia hilang, dari perasaanmu.
seolah hanya sepi yang mampu mengerti, tentang kesedihanku, larut dalam sunyi.
sebab rinduku, tak lagi sampai kepadamu. dan di dadamu, aku telah berlalu.

Day,
adakah yang sanggup memadamkan sebuah rasa?
sedang cinta di dadaku ialah api yang selalu menyala, yang hangatnya tak pernah lagu mampu kau rasa.

Day,
waktu seperti apakah yang kan menjadikan kita satu?
sementara aku selalu berharap, kau adalah takdirku.
tempat ruhku tinggal, hingga tanggal.



Day, mengertikah kau?
rasaku tak seperti musim yang terus berubah, pun tak bisa dicegah.

Day,
kelak bukan lekuk tanganku yang kan kau dekap,
bukan lagi jemariku yang kau genggam penuh hangat,
tapi aku ingin kau selalu ingat;
ruang kosong ini akan tetap seperti itu, seperti waktu terakhir kau meninggalkanku.
dan aku akan tetap disini, menantimu.
sampai waktu memintaku untuk berhenti.

Aku Ingin

Aku ingin menenggelamkan wajahmu diatas kertas, dibalik cermin, dibawah tumpukan buku-buku usang, dilorong sempit, dimanapun. Aku ingin mendekap, melayang dan menghujani tubuhku dengan luapan perasaan rindu tak tertanggungkan,  kerinduan yang telah bertumpuk dibelakang rumah.
            Aku ingin teduh bersama riak air, bersama sunyi, bersama ramai, bersama jutaan mimpi yang berbuih terbang menghiasi padang ilalang, rerumputan, sungai, menghiasi dunia. Aku ingin berlari, lari ke hutan, ke gunung, ke angkasa, lari hingga lelah.
            Aku sering membuat beragam skenario dikepalaku, menuangkannya dalam bermacam imajinasi tak bergaris. Akulah sutradara, pemain, penerjemah, sekaligus kritikus dalam dunia yang kubuat sendiri. Dunia kecil yang menyenangkan. Aku kerap menjadikan kamu sebagai tokoh utama, kita berlayar menggunakan kapal tongkang hingga ujung pulau Seribu. Tak ada penyesalan. hanya ada Laut, Nyata, dan Kita. Tapi setiap kali aku tersadar, kenyataan menjatuhkan aku hingga hancur, meremukkan tubuhku hingga ke sendi-sendinya. Itu semua semu. Entah apa yang membuat dirimu begitu sulit dilupakan, kadang aku kehabisan alasan untuk tidak menulis tentangmu hingga tintaku kering, hingga kosakataku habis, hingga ratusan halaman buku sudah tak cukup lagi untuk mencatat namamu. Kamu adalah kenyataan yang perlahan berubah menjadi imajinasi abstrak.

No comments:

Post a Comment